Theory of meaning
THEORY OF MEANING
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Bahasa
Dosen Pengampu Prof. Dr. H. Taufiq Ahmad Dardiri
Disusun oleh:
Siti Mahdzuroh (1520410001)
KOSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM MAGISTER FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah Filsafat Bahasa tentang Theory of Meaning
Penulis menyadari bahwa materi yang disampaikan dalam makalah ini masih belum sempurna dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam makalah ini,makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para pembaca dan saran yang membangun serta bisa membantu untuk menyempurnakanya.
Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1. Terima kasih kepada dosen mata kuliah Filsafat Bahasa yang telah membimbing kami sehingga bisa terselesaikan makalah ini dengan baik
2. Terima kasih penulis tujukan kepada orang tua yang turut membantu secara tidak langsung melalui doa dan motivasinya
3. Terima kasih kepada teman-teman yang telah meminjamkan buku untuk dijadikan referensi dalam menyelesaikan makalah
Yogyakarta, 1 April 2016 |
Penulis |
Selama proses penulisan makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I, PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 1
BAB II, PEMBAHASAN
2.1 Kajian Semantik ........................................................................................ 2
2.2 Pengertian Makna ...................................................................................... 4
2.3 Teori-Teori Makna ..................................................................................... 6
1. Teori Referensial .................................................................................. 6
2. Teori Ideasional.................................................................................... 8
3. Teori Behavioral .................................................................................. 12
2.4 Dimensi Makna ......................................................................................... 13
BAB III, PENUTUP
1.1 Simpulan ........................................................................................ 22
1.2 Saran .............................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 24
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanda-tanda dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Melalui kemampuan akalnya, manusia berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan. Salah satu tujuan tersebut adalah berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan. Komunikasi bukan hanya sebagai proses melainkan sebagai pembangkit makna. Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain dapat memahami maksud pesan kita secara tepat.
Agar komunikasi dapat terlaksana, manusia harus membuat pesan dalam bentuk tanda (bahasa, kata). Pesan-pesan yang dibuat manusia mendorong orang lain untuk menciptakan makna yang dibuat dalam pesan tersebut. Semakin banyak manusia berbagi kode yang sama, semakin banyak pula menggunakan sistem tanda yang sama, dan semakin dekatlah makna yang datang pada tiap-tiap orang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana cara memahami makna berdasarkan teori-teori makna?
2. Bagaimana dimensi makna dalam bahasa?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini berdasarkan pada rumusan masalah yang telah disebutkan, sehingga tujuanya adalah:
1. Untuk mengetahui cara memahami makna berdasarkan teori-teori makna
2. Untuk mengetahui dimensi makna dalam bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kajian Semantik
Kajian makna lazim disebut semantik. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema yang artinya tanda atau lambang. Sedangkan secara terminologi semantik adalah salah satu bidang linguistik yang mempelajari makna atau arti, asal-usul, pemakaian, perubahan, dan perkembanganya.[1]
Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang.[2]Namun istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah yang lainya mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni mencakup makna atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda-tanda lalu lintas, kode morse, tanda-tanda dalam ilmu matematika dan lain sebagainya. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.
Unsur-unsur semantik:
1. Tanda dan lambang (simbol)
Penggolongan tanda:
a) Tanda yang ditimbulkan oleh alam dan diketahui manusia karena pengalaman, contoh: hari mendung tanda akan hujan
b) Tanda yang ditimbulkan oleh binatang dan diketahui manusia dari suara binatang tersebut, contoh: anjing menggonggong tanda ada orang masuk halaman
c) Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, yaitu: tanda verbal dan non verbal
2. Makna leksikal dan makna gramatikal
Makna leksikal adalah makna yang ada didalam kamus
Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata didalam kalimat
3. Proses yang mengakibatkan perubahan makna:
a) Perluasan makna, ini terjadi pada kata-kata “saudara, bapak, ibu” dan juga bisa dengan menambahkan unsur lain seperti “kepala sekolah, kepala rumah tangga dan lain sebagainya”
b) Pembatasan makna, misalnya seperti kata “pakar” terjadi pembatasan makna menjadi “pakar bahasa, pakar sejarah dan lain sebagainya”
c) Pergeseran makna, makna bahasa mengalami pergerakan dan berkembang sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman. Pergeseran makna terjadi pada kata(frase) yang eufemisme (melemahkan makna). Contoh: kata dipecat, dirasakan terlalu keras, dengan demikian muncul kata diberhentikan dengan hormat atau dipensiunkan. Atau juga pada pada kata tuna netraberarti buta
Filsafat sebagai studi tentang kearifan, pengetahuan, hakikat realitas ataupun prinsip, memiliki hubungan sangat erat dengan semantik. Hal ini karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan adalah dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa.
Bahasa sehari-hari yang biasa digunakan, misalnya, jika dikaitkan dengan kegiatan filsafat, mengandung kelemahan.
Cabang filsafat mengkaji masalah berpikir secara benar, peranan semantik tampak sekali dalam rangka menentukan pernyataan yang benar ataupun tidak benar, dengan bertolak dari adanya premis serta kesimpulan yang diberikan.
2.2 Pengertian Makna
Kata makna mengacu pada pengertian yang sangat luas, sehingga Ogden & Richard dalam bukunya “The Meaning of Meaning, bahwa makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.[3]Dari batasan pengertian itu dapat diketahui tiga unsur pokok yang tercakup didalamnya, yaitu:
1. Makna adalah hasil hubungan antara bahasa dengan dunia luar
2. Penentuan hubungan terjadi karena kesepakatan para pemakai
3. Perwujudan makna itu dapat digunakan untuk menyampaikan informasi sehingga dapat saling dimengerti
Hubungan makna dengan dunia luar terdapat tiga pandangan filosofis yang berbeda, ketiga pandangan yang dimaksud adalah:
1. Realisme
Realisme beranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar, manusia selalu memberikan gagasan tertentu. Sebab itu pemaknaan antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai” selalu memiliki hubungan yang hakiki. Ahirnya menimbulkan klasifikasi makna kata yang dibedakan antara yang kongkret, abstrak, tunggal, jamak, khusus, maupun universal. Penentuan bentuk hubungan itu ternyata tidak selamanya mudah. Batas antara benda kongkret dan abstrak, khusus maupun universal, sering kali sulit ditentukan. Dalam situasi demikian, apa atau siapa yang menentukan, penentuan itu bersifat objektif atau subjektif. Selain itu makna suatu kata, acuan atau denotatumnya dapat berpindah-pindah. Kata “mendung” selain dapat diacukan pada benda juga dapat diacukan dalam suasana sedih. Pada sisi lain, referen yang sama dapat ditunjuk oleh kata yang berbeda-beda. Sudin sebagai guru, ayah dari anak-anaknya, suami atau tetangga yang baik dapat disebut pak guru, bapak, mas, oom atau sebutan lainya. Sebab itu kaum nominalis menolak anggapan bahwa antara kata dengan wujud luar terdapat hubungan.
2. Nominalisme
Hubungan antara makna kata dengan dunia luar semata-mata bersifat arbitrer, meskipun sewenang-wenang penentuan hubunganya oleh para pemakai dilatari oleh adanya konvensi. Sebab itulah, penunjukan makna kata bukan bersifat perorangan, melainkan memiliki kebersamaan. Dari adanya fungsi simbolik bahasa yang tidak lagi diikat oleh dunia yang diacu itulah, bahasa ahirnya juga lebih membuka peluang untuk dijadikan media memahami realitas, bukan realitas yang dikaji untuk memahami bahasa.
3. Konseptualisme
Akan tetapi, apakah benar bahwa makna kata dapat dilepaskan dari dunia luar? Masalah itu dalam konseptualime dijawab, benar! Adanya asosiasi dan konseptualisasi pemakai bahasa, lepas dari dunia luar yang diacunya. Pandangan itu segera mengundang kritik. Seseorang yang haus dan mendengar kata minum, dia pasti bukan terus tidur atau berlari. Dalam asosiasi kesadaranya pastilah hadir tanggapan dunia luar yang secara laras memiliki hubungan dengan “air yang akan diminum”. Dengan demikian, kasus bahwa makna kata dapat dilepaskan sepenuhnya dari dunia luar pemakai tidak dapat berlaku umum. Misalnya kata “bunga” meskipun referenya dapat dipindahkan dan dimaknai “gadis”, pergeseran itu juga tidak lepas dari makna dasarnya. Meskipun demikian, untuk simbol “hujan, binatang jalang”, seperti yang terdapat dalam baris puisi Chairil, misalnya pandangan konseptualisme ini masih tepat.
Selain hubungan antara makna dengan dunia luar, masalah lain yang timbul adalah benarkan bentuk kebahasaan menjadi unsur utama dalam mengemban makna?. Pertanyaan itu karena kata “berangkat” yang diucapkan oleh seorang siswa dan ayah maknanya berbeda. Kata “berangkat” yang diucapkan siswa mengadung makna “berangkat ke sekolah” dan kata “berangkat” yang diucapkan oleh ayah mengandung makna “berangkat ke kantor”.
Dari contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur pemakai dan konteks situasional juga ikut menentukan makna. Dalam kajian teori makna, kenyataan seperti diatas dapat menimbulkan perbedaan pandangan dan pendekatan. Sehubungan dengan masalah pandangan dan pendekatan itu Alston menyebutkan adanya tiga pendekatan dalam teori makna, yang masing-masing memiliki dasar pusat pandang berbeda-beda. Tiga bentuk pendekatan yag disebutkan Harman. Dianggap lebih tepat disikapi sebagai tiga tataran makna, menurut Alston meliputi pendekatan referensial, ideasional, dan behavioral.
2.3 Teori-Teori Makna:
1. Teori referensial
Makna dalam teori referensial diartikan sebagai label yang berada dalam keasadaran mnausia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan, makna itu hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan kesimpulan yang keseluruhanya berlangsung secara subjektif. Terdapatnya julukan simbolik dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk menyusun dan mengembangkan skema konsep. Misalnya, kata “pohon” berdasarkan kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis tumbuhan, melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan, hidup, fana’”, sehingga pohon dalam baris puisi Goenawan Mohammad disebutnya . . . berbagi dingin diluar jendela/mengekalkan yang esok mungkin tak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan dan pemaknaan tersebut, berlangsung melalui bahasa. Akan tetapi, berbeda dengan bahasa keseharian, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa perorangan atau private language. Dengan demikian, makna dalam skema konsep bisa merambah kedunia absurb yang mempribadi dan terasing dari komunikasi keseharian.
Terdapat bahasa perseorangan yang mempribadi tersebut lebih lanjut menyebabkan keberadaan makna sangat ditentukan oleh individual. Apabila individu adalah pengendali institusi, kata “pohon” seperti “persatuan/kehidupan masyarakat” dapat diakui dan disebarluaskan sebagai milik bersama. Akan tetapi, ada juga kemungkinan ciri mempribadi itu justru tetap ingin dipertahankan. Ciri demikian, ditandai antara lain oleh adanya kata-kata khas yang dimaknai secara khusus oleh dua orang yang berteman demikian akrab maupun pada kata-kata tertentu yang digunakan dalam puisi.
Pemberian julukan pada puisi yang bersifat individual mengakibatkan kata-kata yang digunakan menuansakan berbagai makna yang beragam. Hal demikian justru yang diharapkan oleh penuturnya. Semakin banyak julukan lain yang dinuansakan suatu kata, semakin padat, semakin asosiatif, dan semakin kaya kata itu dalam menuansakan makna seperti yang ingin disampaikanya, semakin besar nilai kata itu bagi penyairnya, sebab itulah Chairil Anwar memiliki kredo “prosakum puisi juga, didalamnya tiap kata akan kugali korek sedalamnya, hingga ke kernwoord, ke kernbeeld”
Julukan dan makna hasil observasi atau kesadaran pengamatan individual, pada dasarnya masih bertumpu pada makna hasil penunjukan dasar. Apa yang dilakukan individu itu hanyalah menambahkan atau memberi konotasi. Apabila kata yang masih menunjuk pada makna dasar itu bersifat denotatif sehingga menghadirkan istilah makna konotatif, yakni tambahan makna lain terhadap makna dasarnya. Penambahan itupun sebenarnya bukan hanya khas terjadi dalam kreasi sastra. Sesuai dengan keragaman nilai, motivasi, sikap, pandangan maupun minat setiap individu, fakta yang tergambarkan dalam kata, ahirnya memperoleh julukan individual sendiri-sendiri. Kata “hujan” bagi seorang petani diartikan “rahmat”, bagi penjual es “kegagalan” dan bagi remaja yang kencan dimalam minggu berarti “hambatan”.
Pemberian julukan dan pemaknaan yang bertumpu pada dunia luar itulah yang ahirnya juga menjadi ciri lain dari teori referensial. Quine dengan mengutip pendapat Dewey mengungkapkan bahwa Meaning . . . is not psychic existence, it is primarily a property of behaviour. Hal itu terjadi karena . . . knowledge, mind, and meaning are part of the same word that they have to do with. Kritik yang segera hadir adalah, mengapa makna sebagai sisi lain dari bahasa justru diberi sisi lain ciri-ciri fakta dan kesimpulan kesadaran pengamatan individual? Bukankah pemberian ciri maupun tanggapan dalam kesadaran itu juga brmula dari makna kata?
Meletakkan kata sebagai hasil kesadaran pengamatan individu dan terlepas dari konteks komunikasi, ahirnya juga bertentangan dengan keberadaan bahasa sebagai sistem konvensi, sebab itulah sangat tepat apabila Jacobson maupun Posner mengungkapkan bahwa bentuk komunikasi dalam puisi adalah untuk komunikasi “khas” dan “unik” yang memiliki sistemnya sendiri yang bersifat khusus pula. Dengan demikian, upaya memahami komunikasi makna hasil kesadaran pengamatan subjektif demikian, tidak cukup bila hanya bertolak dari sistem komunikasi keseharian. Dengan kata lain, sistem konvensi dalam bentuk komunikasi khas itupun secara simultan juga harus difahami.
2. Teori Ideasional
Kelemahan dalam pendekatan referensional, selain telah disebutkan diatas juga berkaitan dengan masalah adanya paradoksal antara kebergantungan pada wujud yang diacu dan subjektifitas dalam memberikan julukan. Selain itu skemata konsep yang dianggap bersifat individual, karena dunia kita adalah dunia yang satu ini juga, pada ahirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani adalah satu diantara petani lainya, seorang penyair adalah satu diantara penyair lainya. Kelemahan lain yang sangat menarik sehubungan dengan kajian ini adalaha meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai hubungan antara bentuk dan isi, mencabut makna dari konvensi dan mengeluarkanya dari konteks komunikasi.
Makna dalam teori ideasional adalah gambaran dari suatu bentuk kebahasaan yang bersifat sewenang-wenang tapi memiliki konvensi sehingga dapat saling dimengerti. Gambaran itu secara jelas dapat dikaji dalam perumusan Grice . . . X mean that P and X mean that P entail P. Dengan kata lain, X berarti P dan X memaknakan P seperti yang dimiliki oleh P. X dalam konsep Grice adalah perangkat kalimat sebagai bentuk kebahasaan yang telah memiliki satuan gagasan. Kalimat yang berbunyi, X memaknakan P seperti yang dimiliki P memberikan gambaran tentang keharusan memanai X sebagai P seperti yang telah berada dalam konvensi bahwa P adalah P.
Meletakkan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti teori ideasional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold J. Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan frase sebagai unsur-unsur pembangun kalimat, dapat langsung diidentifikasi lewat kalimat. Dengan mengidentifikasi unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan pemaknaan tidak berlangsung secara lepas-lepas tetapi sudah mengacu pada satuan makna yang dapat digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah apabila X adalah kata menurut Grice, X has meaning NN if it is used in communication. Atau dengan kata lain, kata setelah berada dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang bermacam-macam, mungkin 1,2,3 .....N.
DEKODING |
KODING |
ENKODING |
Komponen pembangun gagasan dalam enkode menurut Jerold Katz bisa saja tidak sama persis dengan kode. Akan tetapi, yang pasti, hubungan linier itu harus diikuti daur, yakni lingkaran hubungan timbal balik antara penyampai dengan penerima pesan yang ditandai oleh adanya “saling mengerti”. Grice juga menyebutkan bahwa suatu bentuk kebahasaan itu dimaknai P oleh penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras nantinya juga dimaknai P oleh pendengaranya. Daur antara penutur (Pt), pesan (Ps), kode (kd), penanggap (Pg), dan informasi (I) dapat digambarkan pada bagan berikut:
MAKNA |
FAKTA |
Pt |
Ps |
Kd |
Pg |
I |
Dari bagan tersebut, dapat diketahui bahwa penutur sebagai pengirim pesan mewujudkan pesan itu dalam bentuk kode. Dengan bertolak dari kode itulah penanggap melakukan dekoding untuk memperoleh informasi sesuai dengan pesan yang disampaikan penuturnya. Kegiatan itu dapat berlangsung karena adanya kesesuaian pemahaman terhadap kode yang digunakan. Kesamaan pemahaman terhadap kode itu terjadi karena hubungan antara kode, makna, dan fakta, meskipun tidak langsung, telah sama-sama dipahami oleh masing-masing interaktan.
Apabila teori referensial dilatari oleh pendapat John Dewey, maka teori ideasional dilatari gagasan dari John Lock, yaitu “... bahasa adalah pengemban makna untuk mengkomunikasikan gagasan. Dalam teori ideasional, makna dianggap sebagai pemerkah ide yang memperoleh bentuk lewat bahasa dan terwujud dalam kode. Dari adanya kegiatan “pembahasaan pesan” dan “pengolahan kode” maka dalam teori ideasional, penguasaan aspek kognitif dan rekognisi dari pemeran dalam kegiatan komunikasi sangat penting. Aspek kognisi dan rekognisi memiliki sasaran, baik pada aspek gramatika, hubungan antara aspek gramatik dengan unsur semantis maupun hubungan antara bahasa dengan dunia luar.
Bahasa memiliki kedudukan sentral sehingga kesalahan penggunaan bahasa dalam proses berpikir menyebabkan pesan yang disampaikan tidak tepat. Sebaliknya, seandainya penggunaan bahasa dalam proses berfikir sudah benar, tapi kode yang diwujudkan mengandung kesalahan, informasi yang diterimapun dapat menyimpang. Meskipun pembahasan pesan dan kode sudah benar bila terjadi gangguan penerimaan, besar kemungkinan informasi yang diterima tidak sesuai dengan pesan yang disampaikan. Pandangan bahwa bahasa adalah ekspresi bebas dari gagasan lebih lanjut.
Kritik tentang teori ideasional terus berdatangan. Gagasan tentang daur komunikasi misalnya, adalah lingkaran yang terlampau ideal dan menuntut adanya penutur –penanggap yang ideal pula. Selain itu seperti yang diungkapkan oleh Paul Ziff lingkaran itu justru bertentangan dengan keberadaan bahasa sebagai wujud kreasi bebas karena terdapat linearitas penyampaian kode dan daur komunikasi apakah justru tidak meniadakan kreativitas berbahasa manusia. Selain itu, anggapan bahwa kode, misalnya kalimat, telah sepenuhnya mampu memberikan informasi tidak selamanya benar. Hal ini dapat dikaji dengan dua kalimat berikut:
1. Kalimat “api itu panas” mengandung arti “api itu panas”
2. Kalimat “orang itu baik” mengandung makna ”...”
Isian makna yang tepat untuk kata kedua sebagai satuan gagasan ternyata tidak mudah ditentukan. Kata “baik” tidak dapat diartikan dengan “tidak jahat”, tidak dapat diartikan “jujur” karena jujur hanya salah satu dari sifat baik.
Selain itu, meletakkan bahasa sebagai wujud gagasan, sebagai perilaku eksternal dari yang internal tidak dapat berlaku umum. Misalnya, orang yang malu-malu justru sering menggunakan bahasa yang bertentangan dengan gagasan yang sebenarnya ingin disampaikan. Pernyataan seperti “ogah tapi mau” adalah contoh paling mudah untuk itu. Hal lain juga, bukankan selain pesan ada maksud? Bukankah bahasa punya ciri prevarikasi?
Kritikan lain, mengharapkan kesejajaran asosiasi fakta dari makna kata antara penutur dengan pendengar tidak selamanya terlaksana. Misalnya, kata “anjing” bagi penutur mungkin menunjuk ke asosiasi fakta “binatang kesayangan”, bagi pendengar mungkin justru kebalikan. Selain itu, pernyataan spontan seperti “saya menemukan ide sekarang” tentunya juga terlepas dari tataran penyusunan pesan dalam enkode dan penyampaian kode. Hal lain yang patut diperhatikan dari contoh itu adalah batas antara kognisi dengan rekognisi juga menjadi tidak jelas.
3. Teori behavioral
Dalam dua teori yang sudah disebutkan dapat diketahui bahwa:
1. Teori referensial dalam mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual
2. Teori ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan menyampaikan informasi.
Keberatan teori behavioral terhadap kedua teori tersebut adalah karena kedua teori tersebut mengabaikan konteks sosial dan situasional yang oleh kaum behavioral dianggap berperan penting dalam menentukan makna.
Kritik lain terhadap kedua teori tersebut adalah pada objek utama kajian justru tidak pernah dapat diobservasi secara langsung. Pernyataan dalam teori ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan pendengar dalam memaknai kode misalnya dalam teori ideasional dianggap kajian spekulatif karena pengkaji tidak pernah mampu meneliti karakteristik ide atau pikiran penutur-pendengar, sejalan dengan aktifitas pengolahan pesan dan pemahamanya. Sebab itulah, kajian makna yang bertolak dari teori behavioral mengkaji makna dalam peristiwa ujaran yang berlangsung dalam situasi tertentu. Satuan tuturan atau unit terkecil yang mengandung makna penuh dari keseluruhan peristiwa ujaran yang berlangsung dalam situasi tertentu disebut speech act.
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai kondisi dan situasi yang melatari pemunculanya. Unit ujaran yang berbunyi “masuk!” pada permainan bulu tangkis berarti masuk garis, pada permainan lotere berarti berhasil, bagi tuan rumah untuk tamu berarti silahkan ke dalam, bagi siswa yang dipresensi dosen berarti hadir. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan latar situasi dan bentuk interaksi sosial yang mengondisinya. Hal itu juga sejalan dengan rumusan pengertian Austin ... speech act is a bit of speech produced as part of a bit of social interaction as opposed to the linguist’s and philosopher’s decontextualised example.
Kritik utama yang datang dari Chomsky menganggap bahwa meletakkan unsur luar bahasa sejajar dengan bahasa, dalam rangka menghdirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu sendiri yang dapat digunakan untuk mengekspresikan gagasan secara bebas. Bahasa sebagai suatu sistem adalah sistem dari sistem. Perbendaharaan kata atau leksikon pemakaianya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal, melainkan juga ditentukan oleh representasi semantik. Komponen representasi semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung sistem luar bahasa itu kedalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional sebagai suatu sistem bukan berada diluar bahasa melainkan didalam dan mewarnai keseluruhan sistem kebahasaan itu sendiri. Baru setelah unsur yang tercakup didalam deep structure itu laras, hadirlah surface structure yang pemunculanya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi. Konsep demikian sedikit banyak juga mewarnai kajian semiotik yang dilaksanakan oleh Morris.
2.4 Dimensi makna
Dimensi makna adalah sudut pandang yang melihat realitas luar bahasa yang di strukturkan.[4]Dimensi ini berfungsi sebagai kategori penggolong yang mencakupi beberapa komponen makna. Dimensi makna diperlukan jika satuan leksikal yang dianalisis mengandung satuan makna yang luas dan kompleks.
1. Referensi dan Denotasi
Reference is the way speakers and hearers use an expression succesfully. Denotation is the literal of a word that might be found in a dictionary.
Anak-anak mempelajari bahasa pertama mereka dengan belajar kata di dalam kelompoknya dengan mengamati situasi dan kejadian di sekitarnya. Fakta seperti ini dapat menimbulkan suatu ide paling sederhana mengenai apa itu ‘makna’. Kita sering berpikir bahwa sebuah bahasa terdiri dari banyaknya jumlah kata dan tiap katanya memiliki hubungan langsung dengan sesuatu di luar bahasa, yang dinamakan makna. Oleh karena itu, jika kita berkomunikasi satu dengan yang lain melalui bahasa, itu berarti kita harus memiliki pokok pikiran yang sama atau konsep yang memiliki hubungan satu sama lain. Elaborasi yang diketahui paling terbaik dari ulasan ini telah di buat oleh Ogden dan Richard(1923), yang mengembangkan teori mentalistik (ideational) tentang makna, mencoba untuk menjelaskan apa yang ada dalam pikiran orang. Seperti pada penelitian sekitar skema ini: Konsep Kata Objek Ogden dan Richard menyebutkan bahwa garis antara kata dan konsep merupakan suatu hubungan, dan garis antara konsep dengan objek ‘referansi’, dan garis antara objek dengan kata ‘makna’.
Word |
Objeck |
Concept |
Meaning |


Triangle of meaning by Ogden and Ricards
Ketika kita mendengar atau membaca sebuah kata, kita sering menggambarkan apa yang kata itu gambarkan, dan kita juga sering menyamakan ‘konsep’ dengan gambaran kita. Kamu dapat menggunaan kata-kata ini dengan baik dalam situasi yang berbeda-beda karena kamu memiliki pengetahuan yang menjadikan kemungkinan-kemungkinan seperti ini.
طبّاخ |
A profesional cook |
Meaning |


2. Konotasi
Connotation is the emotional and imaginative association surrounding a word (Konotasi adalah suatu asosiasi yang bersifat emosional yang ditimbulkan oleh sebuah kata). Sebuah konotasi itu dapat berubah sesuai dengan pengalaman individu.
Agar lebih jelas kita beri contohnya:
Kata bunga selain bermakna denotatif bagian tumbuhan bakal buah, juga akibat asosiasi terhadap barang lain memiliki makna sampingan (konotatif) seperti tampak pada contoh berikut.
a) Dialah bunga idamanku (kekasih).
b) Di mana ada bunga berkembang, ke sanalah banyak kumbang datang (gadis).
Makna kata bunga di atas berubah karena dipergunakan dalam konteks kalimat. Oleh karena makna sebuah kata sering tergantung pada konteks kalimat, makna ini sering juga disebut makna kontekstual. Makna kontekstual muncul akibat hubungan ujaran dan situasi pemakainya.
3. Sense Relations
Sense Relations is a paradigmatic relation between words or predicates
Kinds of sense relation:
a. Sinonim (مترادف)
Synonim is a word that means exactly the same as or very nearly the same as, another word in the same language
Contoh:
قعد أحمد على الكرسي (duduk dari berbaring)
جلس أحمد على الكرسي (duduk dari berdiri)
b. Antonim (متضادات)
Antonym is a word which has opposite meaning
Contoh:
بيتي بعيد عن الجامعة و بيتك قريب من الجامعة
c. Polisemi ( تعدّد المعنى )
Polysemy is a word that has many meaning, but it includes a central groove
Contoh: kata يدّ bisa bermakna tangan/organ tubuh عضو juga bermakna kekuasaan قوة , sebagaimana firman Allah SWT
و السماء بنينها باء يد و أنا لموسعون
“ Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan kami dan sesungguhnya kami benar-benar berkuasa”
d. Hiponim (مشترك اللفظي)
Hyponym is a word whose meaning is summarized in a broader sense. Part of hyponim are:
· Subordination is the meaning or extends (vertical): hypernym
زهرة
· Co-hyponym is below or narrow meaning (horizontal): hyponym
وردة، ياسمين، لوتس
4. Makna Leksikal dan gramatikal
Makna leksikal adalah makna sebenarnya, sesuai dengan hasil observasi indra kita, makna apa adanya dan makna yang ada dalam kamus. Maksud makna kamus adalah makna dasar atau makna konkret. Misalnya leksem حصان memiliki makna sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai. مرسمة bermakna leksikal sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang.
Makna gramatikal adalah makna yang terjadi setelah proses gramatikal (afikasi/melekatnya imbuhan, reduplikasi/mengulang-ulang kata dasar, kalimatisasi/gabungan dua kata atau lebih yang menimbulkan makna baru).
Contoh: kata حصان bermakna leksikal binatang, sedangkan makna gramatikalnya bisa menjadi alat transportasi.
Makna leksikal merupakan makna yang sesuai dengan observasi alat indera atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan makna gramatikal (kontektual) yaitu makna yang situasional
5. Morfem
Morpheme yaitu komponen terkecil dari makna yang paling spesific.
Morpheme dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Morfem bebas yaitu: satu kata yang bisa berdiri sendiri dengan artinya. Contoh kata رجل, مسلم
2. Morfem terikat yaitu: bentuk kata yang selalu bergabung dengan morfem lain
Morfem terikat dibagi menjadi 2:
a) Morfem terikat morfologis, morfem yang terikat pada bentuk kata atau struktur kata, bentuk tambahan tersebut diantaranya: أ، و، ي، س، ا، هـ، ل، ت، ن، م
b) Morfem terikat sintaksis, morfem yang mempunyai arti pada tataran kalimat, misalnya adalah kata sambung
6. Homonim dan Polisemi
Homonim merupakan pengucapan dan ejaan yang identik sama namun memiliki arti berbeda, seperti kata ضرب berdenyut, mengepung, memikat, menembak, memukul, menyengat, cenderung, menentukan, mengetuk. 9 arti tersebut dilafalkan dalam bentuk yang sama.
Polisemi adalah sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata lain dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna yang berbeda. memiliki beberapa makna yang berkaitan. sebagai contoh kata "kepala", memiliki makna yang terkait, misalnya, kepala orang, kepala sebuah perusahaan, kepala sisi tempat tidur dan lain sebagainya. Pemakaian kata kepala pada ketiga konteks pemakaian tersebut tidaklah menimbulkan makna yang sama sekali baru. Makna-makna tersebut masih memiliki satu kesamaan. Makna kepala dalam hal ini merupakan bagian yang memiliki kedudukan yang sangat penting.
simpulan bahwa Homonim dapat di artikan sebagai kata-kata yang bentuk dan cara pelafalannya sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Polisemi berarti suatu kata yang memiliki banyak makna.
7. Leksikal ambiguiti
Leksikal ambiguiti dapat dihasilkan saat terjadi homonim dalam posisi pengucapan yang sama. Meskipun tentu saja ambigu tak secara terus menerus terjadi dalam sebuah tulisan atau pembicaraan. Contoh kalimat “I was on my way to the bank”. Kalimat ini berarti proses seseorang menuju tempat dimana ia menabung atau mengambil uang. Di satu sisi, atau di sisi lain, kalimat ini juga bisa berarti seseorang akan memancing atau berlayar.
Ambiguiti juga terjadi karena bentuk linguistik yang lebih panjang memiliki arti harfiah dan arti kiasan.
“There’s a skeleton in our closet”.
Skeleton in our closet dalam leksem tunggal bisa berarti “rahasia keluarga yang kurang mengenakkan”. Sedangkan jika dari arti literal, gabungan dari beberapa leksem ini bisa berarti “kerangka dalam kloset kami”.
8. Arti kalimat
Pengujaran adalah contoh dari kalimat yang mana pengujaran tersebut merupakan cara kita berkomunikasi. Ada dua hal yang jelas dalam menjelaskan arti kata.
1. Jika kita tahu tentang makna gramatikal dan kosakata, maka akan tahu tentang arti kata. Jika tidak, maka kesebalikannya.
2. Setidaknya jika kalimat itu adalah pernyataan, jika kita tahu artinya, maka kita akan tahu kondisi apa yang dibutuhkan di dunia ini untuk membenarkan kalimat itu.
“Sarmidi membuka penggilingan padi pertama di Klaten.”
Kita tak tahu kalimat ini benar atau tidak. Tapi kita tahu jika kalimat ini benar, maka terdapat seseorang bernama Sarmidi (di suatu waktu) dan sebuah tampat bernama Klaten (anggapan awal), dan Sarmidi-lah yang pertama membuka penggilingan padi dan tak ada orang lain yang membuka penggilingan padi di daerah itu sebelumnya (bawaan). Kita tahu jika kalimat ini benar, maka kalimat “Sarmidi tidak membuka penggilingan padi pertama di Klaten” adalah salah (bantahan).
Kebenaran kondisi dalam semantik berdasarkan pada dugaan yang mana inti dari setiap kalimat (pernyataan) adalah pada kebenaran kondisi itu sendiri. Setiap pembicara bisa mengetahui kondisi tersebut. Masalah tentang jika sebuah kalimat itu benar sepenuhnnya, maka apakah penjelasan sebagian kalimat itu dalam kondisi yang berbeda masih memiliki kesamaan benar atau salah, atau malah membantah.
Penjelasan dimensi makna belumlah usai. Banyaknya arti yang kita dapat dari sebuah kalimat bisa dikarenakan gerak hati yang kita miliki atau fakta bahwa si pembicara merujuk pada sesuatu / menunjukkan arti yang lebuh lanjut. Dalam semantic, kita tidak tertarik pada hal tersebut. Akan tetapi ini lebih kepada suatu contoh dimana bahasa dari pesan melibatkan beberapa makna tambahan yang terjadi dalam kesimpulan kita.
Ada sebuah contoh: “Satu tim itu terdiri dari enam siswa dari SMK Batur Jaya.”
Dari contoh itu, dapat diambil makna bahwa SMK batur jaya adalah sebuah nama sekolah, meski kita tak tahu sekolah itu. Di dalam kalimat itu juga terdapat frasa satu tim. Dalam hal ini, masih rancu apakah sebuah tim itu hanya terdiri dari 6 siswa atau lebih dan apakah tim-tim yang lain juga terdiri dari 6 siswa SMK baturjaya atau cuma satu tim saja.
“Satu tim terdiri dari keenam siswa SMK Batur Jaya.”
Kalimat ini lebih informative (punya makna lebih) dimana terdapat kejelasan bahwa
hanya enam siswa yang ada dalam tim itu. Tidak lebih.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kajian makna lazim disebut semantik. Semantik adalah salah satu bidang linguistik yang mempelajari makna atau arti, asal-usul, pemakaian, perubahan, dan perkembanganya. Sedangkan makna adalah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.
Hubungan makna dengan dunia luar terdapat tiga pandangan filosofis yang berbeda yaitu: realisme, nominalisme, konseptualisme.
Memahami sebuah makna diperlukan beberapa teori:
1. Teori referensial, yang mengidentifikasi suatu ungkapan berdasarkan apa yang diacunya.
2. Teori ideasional, yang mengidentifikasi suatu ungkapan berdasarkan gagasan atau ide yang berhubungan dengan ungkapan tersebut.
3. Teori behavioral, yang mengidentifikasi suatu ungkapan berdasarkan stimulus yang menimbulkan ucapan tersebut atau respon yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut.
Dimensi makna diperlukan jika satuan leksikal yang dianalisis mengandung satuan makna yang luas dan kompleks. Diantara dimensi makna adalah: referensi dan denotasi, konotasi, sense relation (sinonim, antonim, polisemi, hiponim), makna leksikal dan gramatikal, mrofem, homonim dan polisemi, leksikal ambiguiti, arti kalimat
3.2 Saran
Memahami bahasa tidak cukup dengan hanya berpedoman pada makna leksikal, karena terkadang ungkapan mengandung makna yang berbeda dari makna leksikal, dan pemaknaan tersebut bisa jadi meluas atau menyempit atau bergeser dari makna leksikal suatu leksem, sehingga diperlukan beberapa teori makna untuk memahami suatu makna, dan pada masing-masing teori makna ada beberapa kelemahan, sehingga harus selektif dalam menerapkan teori makna, maka diperlukan juga pengetahuan tentang dimensi makna karena makna leksikal akan berubah pada kontek-kontek tertentu. Sehingga begitu penting untuk mempelajari tentang teori makna.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2011. Semantik (Pengantar Studi tentang Makna). Bandung: Sinar Baru Algensindo
Chaer, Abdul. 2015. Filsafat Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta
Char, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Char, Abdul. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
Hp, Achmad dan Alek Abdullah. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Erlangga
Kaelan. 2013. Pembahasan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Paradigma
Khoyin, Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa. Bandung: Pustaka Setia
Moeliono, Anton. 2000. Kajian Serba Linguistik. Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta
Verhaar, J.W.M. 2012. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Zainuddin. 1985. Pengetahuan Kebahasaan (Pengantar Linguistik Umum). Suarabaya: Usaha Nasional
[1] Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 108
[2] Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2013), lm. 2-3
[3]Aminuddin, Semantik Pengantar Studi tentang Makna, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 52-53
[4] Anton Moeliono, Kajian Serba Linguistik, (Jakarta: PT. BPK. Gunung Mulia, 2000), hlm. 263
Komentar
Posting Komentar