Hakikat Cinta Menurut Islam
Berbicara tentang cinta, siapa sih yang tidak tahu tentang hal ini? Siapa pula yang belum pernah merasakan mencintai juga dicintai? Tentu setiap orang pernah, bukan?
Lagi-lagi karena setiap orang mengenal dengan yang namanya cinta dan bahkan sangat akrab dengannya, tentu setiap orang pun dapat mendefinisikan cinta sesuai dengan kreatifitas, pengalaman, dan perspekfifnya masing-masing.
Namun ketika kita berbicara tentang ‘hakikat’ sebuah cinta, maka seyogyanya kita mampu mengenali cinta secara objektif. Yaitu tentunya dengan mengembalikan definisi cinta sesuai pengertian yang sebenar-benarnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati akan dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)
Firman Allah tersebutlah yang menjadi dasar akan pentingnya kemudian kita harus mempelajari cinta sesuai dengan hakikatnya, supaya kita tidak salah pengertian dalam mendefinisikan serta mengamalkan cinta.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) cinta didefinisikan sebagai rasa sayang, suka, berharap, terpikat, dan sejenisnya. Sedangkan di dalam Wikipedia cinta didefinisikan sebagai suatu perasaan yang positif dan diberikan pada manusia atau benda lainnya.
Cinta sangat erat kaitannya dengan kehidupan. Karena memang setiap manusia tidak bisa hidup tanpa sebuah cinta. Di mana-mana bisa kita temukan cinta. Bahkan bagaimana mungkin manusia lahir dan berkembang tanpa ada sebuah cinta yang melahirkan dan membangunnya?
Maka jika memang cinta sangat erat kaitannya dengan kehidupan, hal tersebut berarti bahwa kita harus merujuk pada sumber petunjuk dalam kehidupan untuk kemudian kita menemukan definisi dari hakikat sebuah cinta.
Lantas pertanyaannya, apakah sumber petunjuk dari sebuah kehidupan? Tentunya, sebagai muslim kita berpegang teguh pada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber petunjuk kehidupan yang sebenar-benarnya.
Sebelumnya penulis akan terlebih dulu menyajikan beberapa poin tentang ciri-ciri cinta menurut Islam, yang kemudian setelahnya barulah kita bisa menyimpulkan definisi hakikat dari sebuah cinta menurut Islam. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1. Sensitif Terhadap Nama
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah maka gemetarlah hati mereka.” (QS. Al-Anfaal: 2)
2. Semakin Berinteraksi Semakin Cinta
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang... apabila dibacakan ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanannya.” (QS. Al-Anfaal: 2)
3. Sikap Rela Berkorban
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang... senantiasa berserah diri kepada Tuhannya.” (QS. Al-Anfaal: 2)
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)
4. Senantiasa Mengingat
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
5. Patuh/Taat
Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut, “Katakanlah (Muhammad): "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imran: 31)
Nah, dari ciri-ciri di atas kira-kira sudah dapat kita simpulkan belum tentang hakikat sebuah cinta? Atau sempat berpikir tidak sih mengapa ayat di atas kebanyakan menyebut “orang-orang yang beriman”?
Ya, karena memang hakikat sebuah cinta adalah erat kaitannya dengan keimanan. Begitulah kesimpulannya. Lantas pernyataan seperti itu juga didukung oleh sabda Rasulullah shallallahu’alayhi wa salam berikut :
“Ada tiga perkara yang apabila dimiliki oleh seseorang, dia akan merasakan manisnya iman. Yakni Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada kecintaannya terhadap sesuatu yang lain, mencintai orang lain semata-mata hanya karena mencari keridhaan Allah, dan takut kembali ke jalan kufur sebagaimana dia takut dirinya di masukkan ke dalam siksa neraka.” (HR. Bukhari & Muslim)
Lagi-lagi di dalam hadits tersebut istilah cinta dikaitkan dengan keimanan. Karena memang seperti itu, antara cinta dengan iman sangatlah erat hubungannya, bahkan tidak seharusnya dipisahkan.
Cinta atas dasar keimanan adalah ketika kita mencintai seseorang/sesuatu maka akan membuat keimanan kita semakin bertambah. Atau dengan kata lain semakin mencintai maka semakin berkembang pula keimanan kita.
Namun jika cinta tidak didasari keimanan maka sudah barang tentu ketika kita mencintai seseorang/sesuatu maka justru akan menganggu atau bahkan menghambat berkembangnya keimanan kita. Cinta yang seperti ini tentu tidaklah dapat dikatakan ‘cinta’ namanya. Walaupun memenuhi ciri-ciri sebuah cinta namun jika cinta tersebut tidak sesuai dengan sebagaimana dasar keimanan maka tetap tidaklah dapat dikatakan ‘cinta’ namanya.
Lantas jika di luar sana banyak sekali tulisan-tulisan, perkataan-perkataan, dan tindakan-tindakan tentang cinta namun pada kenyataannya tidaklah sesuai dengan aturan keimanan atau dengan kata lain membuat pelakunya justru bermaksiat (melanggar aturan) dari Allah maka sudah jelas lagi-lagi kita harus tegas katakan bahwa hal tersebut bukanlah ‘cinta’ namanya, melainkan nafsu.
Karena jika cinta yang berlandaskan sebuah keimanan maka tidak akan menyalahi aturan yang ada. Terlebih, di dalam cinta itu sendiri ada beberapa peraturan yang setidaknya harus dipenuhi bagi kita. Adapun peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan hadits yang ada, yaitu sebagai berikut:
1. Jangan Salah Melabuhkan Cinta
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alayhi wa salam berikut, “Cintamu terhadap sesuatu (bila tidak hati-hati) akan membuat (hati)mu buta dan tuli.” (HR. Ahmad)
2. Mencintai Allah & Rasul-Nya Lebih Dari Siapapun/Apapun
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alayhi wa salam berikut, “Ada tiga perkara yang apabila dimiliki oleh seseorang, dia akan merasakan manisnya iman. Yakni (di antaranya) Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada kecintaannya terhadap sesuatu yang lain.” (HR. Bukhari & Muslim)
“Tidaklah beriman seorang di antara kalian sampai dia mencintai aku, lebih dari cintanya kepada anaknya, ibunya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
3. Menikah
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alayhi wa salam berikut, “Tidak ada yang lebih pantas dari dua orang (bukan mahram) yang saling mencintai kecuali menikah.” (HR. Ibnu Majah)
4. Jika Belum Mampu Menikah Maka Berpuasa
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alayhi wa salam berikut, “Wahai para pemuda, menikahlah! Karena (menikah) itu lebih bisa menjaga pandangan dan kemaluan kalian. Barangsiapa yang belum mampu, berpuasalah. Sebab, puasa itu adalah perisai (meredakan nafsu).” (HR. Bukhari, Nasa'i, & Tirmidzi)
Keempat peraturan cinta tersebut seharusnya dipenuhi, karena jika tidak maka tentu bukan cinta namanya dan tidak sesuai dengan hakikat dari sebuah cinta tentunya. Karena lagi-lagi jika berbicara tentang hakikat maka sudah barang tentu ada kaidah-kaidah atau batasan-batasan yang sepatutnya dijaga. Dalam hal ini, hakikat cinta seyogyanya turut serta diamalkan berikut dengan aturan-aturan yang ada, supaya pelaku tidaklah tersesat dalam mengamalkan cinta.
Cinta yang sejati atau cinta yang hakiki seperti penjelasan di ataslah seharusnya, sesuai dengan kaidah dan aturan yang ada. Tidak salah memahami, dan mengindahkan batasan. Seperti itulah cinta. Maka jika tidak, bukanlah cinta namanya, melainkan nafsu. Karena nafsu tidaklah memedulikan kaidah dan aturan yang ada. Salah memahami, dan tidak mengindahkan batasan. Lagi-lagi begitulah nafsu.
Nah, sebagai ummat Muslim tentunya kita harus mengetahui dasar cinta ini, supaya kita tidak salah dalam memahami dan mengamalkan cinta, supaya cinta yang kita jalani tidaklah melanggar batasan yang ada, dan tentunya supaya cinta yang kita miliki diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Komentar
Posting Komentar