Humor dipanggung kehidupan


            Setiap hari kesibukan yang aku lakukan hanyalah membaca dan menulis, ntah itu membosankan atau enggak menurut orang lain tapi aku tidak peduli, yang terpenting buatku itu adalah hobi yang sangat menarik. Kenapa demikian? Iya, karena ketika aku membaca aku akan menyatu dalam pikiran penulis sehingga aku akan sebentar melupakan kehidupan yang saat itu masih berjalan dalam diriku. Namun ketika aku membaca aku akan asik menuliskan apapun yang ada dalam pikiranku, ntah berbagi ilmu, berbagi pengalaman atau apapun itu yang saat itu ingin aku tuliskan.
            Tak ada perbedaan jauh dari hari-hariku, setiap hari hanya duduk didepan notebook usang yang sudah sepuh usianya sehingga kadang lelet ntah karena keracunan virus atau apalah aku sendiri tidak mengerti, yang pasti aku juga belajar bersabar dari notebook-ku juga, selain itu aku juga sering membaca buku-buku yang saat itu aku inginkan, baca buku humor saat sedih, baca buku ilmiah/biografi saat lagi biasa-biasa saja, dan jarang sekali membaca novel.
            Begitu juga dengan hari ini, disela-sela waktu mengajar aku selalu duduk dikursi yang ntah milik siapa tapi aku selalu pede duduk disana sambil membolak-balik buku tentang “pengakuan-pengakuan Syaikh Siti jenar” yang merupakan salah satu syaikh yang penuh kontrofersi, ada yang mengatakan ajaranya sesat ada yang mengatakan lurus-lurus saja. Aku buang jauh-jauh semua argument  tentang beliau karena aku tidak mau terprovokasi oleh salah satu penulis, yang ingin aku pelajari tentang semangat perjuanganya menuntut ilmu serta mengamalkanya, dan keinginanya untuk lebih dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan.
            Disaat sedang asik menyelami kehidupan Syaikh Siti jenar, rasa penasaran yang belum terjawab mulai terganggu dengan suara salah satu sepupu kesayanganku yang kemungkinan berniat baik menasehati aku, tapi ntah kenapa telinga menjadi sedikit pedas mendengar kata demi kata yang diucapkan. Penduduk ditempat aku duduk semuanya guru atau calon guru, harusnya mereka pandai membentengi diri agar tidak mudah diseret arus manapun,  tetapi kenapa disini masih ada juga yang katakanlah mengekor pada kepala orang. Inti pembicaraanya adalah kalau aku akan kualat dengan orang tuaku hanya karena aku mencintai orang yang tidak direstui   orang tua. Setelah sepupu yang ini ganti lagi dengan sepupu yang lain masih dengan tema yang sama
            Begitu lucu panggung kehidupanku, jodoh itu urusan Tuhan, kenapa manusia harus lancang mencampuri urusan Tuhan, aku saja yang memiliki raga ini tidak berani sampai akupun pasrahkan semua pada Tuhan yang telah menciptakan aku,kenapa yang lain harus menghakimiku seperti telah membaca catatan Tuhan untuk kehidupanku.
            Hal seperti ini memang lazim terjadi di Negeri ini, mungkin bukan hanya aku yang merasakan tapi masih banyak yang lain, andaikan kita mau mendalami ajaran agama kita maka kita tidak akan gampang menuduh atau kita tidak akan drop karena selalu dikatakan menjadi anak durhaka. Apalagi jika orang tuanya mendapat pangkat Kyai sudah pasti anak yang tertimpa masalah ini akan semakin terpojok karena orang pada zaman sekarang masih banyak orang yang kurang suka membaca sehingga mudah terprovokasi oleh satu orang saja yang sebut saja namanya kyai, kyai juga manusia jadi adakalanya salah dan ada kalanya benar. Maka dari itu aku sangat bersemangat berbagi pengalaman agar kita tidak salah persepsi. jika ada orang tua melarang anaknya menikah dengan orang yang dicintainya maka orang tua itu tidak perlu ditaati, dengan syarat bahwa orang yang akan dinikahinya itu memang layak dinikahi alias tidak bertentangan dengan syariat (agamanya sama, bukan seorang peminum khamer, penipu, pencuri, penjudi dan pelaku perbuatan fasiq). karena pada dasarnya menikah adalah hak anak, dan yang akan menikah adalah sang anak, bukan sang orang tua
 sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
لاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ وَلاَ الثَّيِّبُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ إِذَا سَكَتَتْ
“Gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin, dan janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai persetujuannya.” Ada yang bertanya; ‘ya Rasulullah, bagaimana tanda izinnya? ‘ Nabi menjawab: “ tandanya diam.” (H.R. Bukhari 6/2555/6567)
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ ابْنَةَ خِذَامٍ أَتَتْ النَّبِي صَلَى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوِّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari ibnu Abbas: bahwasanya anak perempuan khidzam menemui Nabi dan menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya, padahal ia tidak menyukainya. Maka Nabi memberinya hak untuk memilih (H.R. Ahmad)
Seandainya penolakan Khansa’ binti Khidzam kepada ayahnya dalam hal pilihan suami termasuk kedurhakaan, niscaya Rasulullah akan memerintahkan Khansa’ untuk  taat kepada ayahnya dalam hal pilihan suami. Dan ternyata Rasulullah memberikan pilihan kepada Khansa’ untuk membatalkan pernikahan atau melanjutkannya. Jika berbakti kepada orang tua adalah kewajiban seorang anak maka hal ini menunjukkan bahwa memilih suami adalah hak besar wanita yang bahkan menjadi Takhsish (kekhususan) untuk tidak taat dengan perintah Ayah/wali atau perintah berbakti kepada orang tua.
Dengan demikian menghalang-halangi wanita untuk menikah dengan orang yang menjadi pilihannya yang sesuai dengan kriteria syari’i adalah kezaliman yang diharamkan oleh Islam dan disebut dalam pembahasan fiqh dengan istilah ‘Adhl. Adhl hukumnya haram. Allah berfirman ketika mengharamkan ‘Adhl
فَلاَ تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“ Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah dengan calon suaminya apabila telah ada saling ridha di antara mereka dengan cara yang ma’ruf (Al-Baqoroh; 232)
            Jelas sudah penjelasan tersebut, bahwa anak yang membangkang dengan pilihan orang tuanya tentang pilihan suami bukanlah anak yang durhaka.

            Jadi mari gemar membaca agar ucapan kita tidak menjadi lelucon bagi orang-orang yang berilmu, Tuhan telah menggariskan kehidupan umat-Nya, tidak perlu kita saling mencaci maki orang lain apalagi untuk hal yang bukan kepentingan kita, untuk apa kita harus capek menguras emosi dan air mata untuk hal yang bukan hak kita dan hal yang sudah menjadi ketentuan Tuhan. Urusan Tuhan biarlah Tuhan yang mengatur, urusan kita adalah beribadah kepada Tuhan, lucu sekali jika kita mau ikut campur dengan urusan Tuhan.  jika menikah tidak diperbolehkan maka ada banyak jalan lain untuk beribadah kepada Tuhan selain dengan menikah. Jadi tidak perlu harus membenci orang tua.
oleh: Siti Mahdzuroh
rembang, 3 maret 2015


Komentar

Postingan Populer