tuduhan seputar kodifikasi al-quran
TUDUHAN SEPUTAR KODIFIKASI AL-QUR’AN
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Memenuhi Tugas
Mata Kuliah studi al-qur’an
Dosen Pengampu Bapak Zeid B. Semeer, Lc. M.A.
Oleh:
Siti Mahdzuroh (10330094)
Ana Suroyyatul A. (10330096)
Jurusan Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Humaniora dan Budaya
Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah dengan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan ridlo-Nya pula kami dapat menyelesaikan makalah ini, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, selain itu penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan melengkapi bahan-bahan studi ilmiah tentang pengetahuan tuduhan seputar kodifikasi al-quran.
Penulis menyadari bahwa materi yang disajikan dalam makalah ini masih belum sempurna dan mempunyai banyak kekurangan. Tak ada yang sempurna di dunia ini dan kesempurnaan hanyalah milik Allah, begitu juga dengan kekurangan yang ada dalam makalah ini, makalah ini belum bisa sempurna tanpa adanya kritik dari para pembaca dan saran yang membangun dan bisa membantu kami untuk menyempurnakanya.
Tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini baik berupa moril maupun materil, diantaranya:
1. Kami berterima kasih kepada dosen mata kuliastudi al-quran yang telah membimbing kami sehingga bisa terselesaikan makalah ini Insya Allah dengan baik
2. Terima kasih kapada teman-teman yang telah menyumbangkan waktu, tenaga, dan dana untuk menyelesaikan makalah ini
3. Terima kasih kami tujukan kepada orang tua kami yang turut membantu kami secara tidak langsung melalui doa dan motivasinya
4. Terima kasih kepada kakak-kakak senior yang telah meminjamkan buku untuk kami jadikan referensi dalam menyelesaikan makalah
Selama proses penulisan makalah ini penulis banyak menerima masukan, motivasi, dan bantuan pikiran dari berbagai pihak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan.
Malang
14 Oktober 2011
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 latar belakang ................................................................................................................. 1
1.2 rumusan masalah ............................................................................................................ 1
1.3 tujuan.............................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tuduhan adanya kesalahan penulisan al-qur’an .............................................................. 3
2.2 Tuduhan atas kemutawatiran al-qur’an............................................................................ 5
2.2.1 Pengertian qiro’ah sab’ah....................................................................................... 6
2.2.2 Contoh varian bacaan qiro’ah sab’ah.................................................................... 7
2.2.3 Status qiro’ah sab’ah dan sebab varian bacaan..................................................... 7
2.2.4 Sab’at ahruf........................................................................................................... 9
2.2.5 Makna tujuh huruf................................................................................................. 10
2.2.6 Hikmah al-qur’an diturunkan dengan 7 huruf....................................................... 11
2.2.7 Hubungan qiro’ah sab’ah dengan sab’atul ahruf................................................... 11
2.3 Tuduhan ketidaksempurnaan al-qur’an............................................................................ 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................... 15
3.2 Saran................................................................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu upaya orang-orang kafir untuk menyerang al-Quran adalah
tuduhan adanya penulisan dan bacaan ayat al-Quran yang bertentangan dengan
kaidah nahwu dan sharaf. Untuk membuktikan tuduhannya, mereka mengetengahkan
beberapa ayat al-Quran, dan beberapa riwayat. Atas dasar itu, tuduhan bahwa al-Quran mengalami pengurangan, penambahan atau adanya kesalahan dalam penulisan dan bacaan, adalah tuduhan yang tidak berdasar dan mengada-ada.
tuduhan adanya penulisan dan bacaan ayat al-Quran yang bertentangan dengan
kaidah nahwu dan sharaf. Untuk membuktikan tuduhannya, mereka mengetengahkan
beberapa ayat al-Quran, dan beberapa riwayat. Atas dasar itu, tuduhan bahwa al-Quran mengalami pengurangan, penambahan atau adanya kesalahan dalam penulisan dan bacaan, adalah tuduhan yang tidak berdasar dan mengada-ada.
Fenomena munculnya berbagai tuduhan yang negatif tentang al Qur’an terjadi setelah peristiwa pengumpulan ayat-ayat al Qur’an menjadi satu mushaf yang utuh, tepatnya pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Dimana pengumpulan kodifikasi ini melalui proses yang panjang.
Dilanjutkan dengan Jam’ul Qur’an pada masa yang kedua, yakni pengumpulan Qur’an secara tertulis dibawah kekhalifaan Abu Bakar, karena khawatir al Qur’an tidak akan terjaga dengan baik, maka beliau memerintahkan untuk memindah semua tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang dan pelepah kurma kemudian dikumpulkan menjadi satu mushaf.
Pengumpulan usman adalah menyalinnya dalam satu huruf diantara ketujuh huruf saat pada itu, untuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Hal ini disebabkan banyaknya perbedaan dalam hal qira’at, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan. Karena khawatir akan timbul bencana, Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu ke dalam satu mushaf dengan menertibkan surat-suratnya dan membatasinya hanya pada bahasa Quraisy saja. Akhirnya Usman berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman. Namun, kemudian muncul keraguan-keraguan yang ditiupkan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan hawa nafsu terhadap al Qur’an dan kecermatan pengumpulannya
Dengan demikian kami akan menjelaskan mengenai permasalahan yang terjadi tentang adanya tuduhan-tuduhan yang tidak benar tentang al-quran, dan meluruskan kembali pandangan-pandangan yang salah ketika memahami al-quran.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah:
- Bagaimana tuduhan suatu golongan tertentu tentang kesalahan dalam penulisan al Qur’an?
- Bagaimana seputar tuduhan atas kemutawatiran al Qur’an?
- Bagaimana tuduhan ketidaksempurnaan al Qur’an yang meliputi penambahan, pengurangan, dan pemalsuan isi al Qur’an?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut kita dapat mengetahui
- Mengetahui tuduhan yang dilontarkan oleh suatu golongan tertentu tentang kesalahan dalam penulisan al Qur’an?
- Mengetahui tuduhan atas kemutawatiran al Qur’an?
3. Mengataui tuduhan ketidaksempurnaan al-Qur’an yang meliputi penambahan, pengurangan, dan pemalsuan isi al Qur’an?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tuduhan Adanya Kesalahan dalam Penulisan al Qur’an
Ada beberapa keraguan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap al-qur’an . disini akan dikemukakan beberapa hal penting
1. Mereka sumber-sumber lama menunjukkan bahwa ada bagian al-qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf yang ada di tangan kita ini. Sebagai bukti dikemukakan sebuah dalil
عن عائشة رضي الله عنها قالت: سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم رجلا يقرأ فى المسجد فقال: يرحمه الله، لقد أذكرنى كذا وكذا آية من سورة كذا وفى رواية أسقطتهنّ من آية كذا وكذا. وفى رواية: كنت أنسيتها
Aisyah berkata: “ Rosullah pernah mendengar seseorang membaca al-qur’an di masjid, lalu katanya “ semoga Allah mengasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayat ayat itu dan ayat itu dari surat itu”. Dalam riwayat lain dikatakan “aku telah menggurkanya dari ayat ini dan ini “. Dan ada lagi riwayat yang mengatakan “aku yelah dibuat lupa terhadapnya”.
Argument ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rosullah akan satu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keraguan dalam hal pengumpulan qur’an karena riwayat yang mengandung ungkapan “menggugurkan” itu telahditafsirkan oleh riwayat lain. Aku telah dibuat lupa terhadapnya (kuntu unsituha). Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan menggugurkan adalah lupa. Disamping itu ayat-ayat itu telah dihafal oleh Rosullah, dicatat oleh para penulis wahyu, serta dihafal oleh para sahabat. Hafalan dan pencatatanyapun telah mencapai tingkat mutawatir.dengan demikian lupa yang dialami Rosullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan (ketelitian) dalam pengumpulan qur’an. Inilah maksud hadist diatas[1].
Allah telah berfirman dalam surat a’la ayat 6-7
èÎø)ãZy xsù #Ó|¤Ys? ÇÏÈ
wÎ) $tB uä!$x© ª!$# 4 ¼çm¯RÎ) ÞOn=÷èt tôgyfø9$# $tBur 4s"÷t ÇÐÈ
6. Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa,
7. Kecuali kalau Allah menghendaki. Sesungguhnya dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi.
Mengenai ini Allah telah berjanji kepada Rosul-Nya untuk membacakan al-quran dan memeliharanya dan mengamankanya dari kelupaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
“Kami akan membacakan (Al Quran) kepadamu (Muhammad) Maka kamu tidak akan lupa”, namun karena ayat ini terkesan merupakan suatu keharusan, padahal Allah berbuat sesuai kehendak-Nya secara bebas “dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai” (al-anbiya’:23), maka ayat itu segera disusul dengan pengecualian “kecuali kalau Allah menghendaki”.
2. Mereka mengatakan dalam al-qur’an terdapat sesuatu yang bukan al-qur’an[2].
Untuk pendapat ini mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa ibnu mas’ud mengingkari surat an-nas dan al-falaq yang termasuk bagian dari al-quran. Terhadap pendapat ini dapat diajukan jawaban sebagai berikut, bahwa riwayat yang diterima dari ibnu mas’ud itu tidak benar, karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-nawawi mengatakan dalam syarh al-muhazzab[3]:
Kaum muslimin sepakat bahwa surat an-nas dan al-falaq dan al-fatihah termasuk dalam qur’an. Dan yang mengingkari ia adalah kafir. Sedangkan riwayat yang diterima dari ibnu mas’ud adalah batil, tidak sohih. “ibnu hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama terhadap ibnu mas’ud.
3. Segolongan syi’ah ekstrim menuduh bahwa Abu Bakar, Umar, Usman telah mengubah qur’an serta menggugurkan beberapa ayat dan suratnya.
Mereka Abu Bakar cs, telah mengganti ummatun hiya arba min ummatin “satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain”. (an-nahl:92) yang asalnya adalah a’immatun hiya azka min a’immatukum” imam-imam yang lebih suci dari pada imam-imam kamu”.
Terhadap golongan ini bahwa tuduhan mereka adalah batil,omong kosong tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakanya adalah suatu kebodohan.
Diriwayatkan bahwa ali mengatakan mengenai pengumpulan qur’an oleh Abu Bakar “manusia yang paling berjasa bagimushaf-mushaf qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah yang pertama mengumpulkan qur’an”. Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan qur’an oleh usman: “wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Allah, jauhilah sikap bermusuhan dengan usman dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar mushaf. Demi Allah ,ia membakarnya berdasarkan persetujuan kami,sahabat-sahabat Rasulullah”. Lebih lanjut ia mengatakan : “seandainya yang menjadi penguasa waktu itu adalah aku,maka aku akan melakukan hal yang sama.
Apa yang diriwayatkan dari Ali telah membungkam para pendusta yang mengira mereka adalah pembela Ali, sehingga mereka berani berperang karena kefanatikanya kepada Ali, sedangkan Ali melepaskan tangan dari mereka.[4]
2.2 Tuduhan atas kemutawatiran al-qur’an
Alquran adalah firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang sampai sekarang selama 14 abad tetap eksis dengan otentisitasnya yang tak tergoyahkan dan dengan kokoh mempertahankan dirinya dari “uji ilmiah” dari orang-orang yang skeptis dan ingin meruntuhkan klaim otensitas dan kesakralannya. Tidak terhitung sudah berapa banyak upaya untuk menyamakan nasib Alquran dengan Bibel atau kitab suci agama lainnya namun upaya itu selalu gagal dan tidak membawa pengaruh apa-apa pada kesucian Alquran. Sudah berapa banyak para islamisis atau orientalis yang berusaha membuktikan adanya intervensi manusia dan unsur pengaruh luar pada Alquran atas nama “penelitian ilmiah” dan “sikap ilmiah” yang dikemas sedemikian rupa namun tidak dapat mengubah kitab suci ini menjadi buku biasa.
Pintu-pintu atau celah-celah yang dimasuki oleh para orientalis untuk menumbuhkan keraguan kaum muslimin tehadap Alquran di antaranya adalah melalui pribadi Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu, melalui bahasa Alquran, melalui susunan Alquran yang tidak sesuai dengan kronologi masa turunnya, melalui proses penyusunan Alquran masa Abu Bakar, penulisan Alquran pada masa ‘Utsmân yang menghasilkan mushhaf ‘Utsmânî dan lainnya. Salah satu aspek sejarah Alquran yang gencar dipersoalkan orientalis adalah sistem penulisan (palaeoghrafi) Mushhaf ‘Utsmânî yang tidak menggunakan tanda titik (nuqat atau nuqat al-i’jâm) dan tanda diakritikal (tasykîl atau nuqat al-i’râb).
Kondisi ini diinterpretasikan oleh para orientalis sebagai penyebab lahirnya varian bacaan yang didasarkan pada rekaan bukan varian bacaan yang diwariskan secara mutawâtir dari Nabi. Dari perspektif ini, varian bacaan yang terakomodasi dalam berbagai qirâ`atkhususnya qirâ`at sab’ah yang telah dikodifikasi oleh Ibn Mujâhid bukanlah qirâ`at mutawâtir dan juga bukan berasal dari Nabi. Hadis Nabi tentang sab’at ahruf yang dalam keyakinan umat Islam merupakan hadis mutawâtir dan menjadi landasan lahirnya qirâ`at tidak lebih dari cerita palsu dan rekayasa untuk menutup rapat suatu kepentingan terselubung dalam mushhaf ‘Utsmânî.
2.2.1 Pengertian Qirâ’ât Sab’ah
Secara etimologis kata qirâ’ah merupakan bentuk mashdar dari kata qara`ayang berarti bacaan. Secara terminologis, terdapat beberapa redaksi yang diajukan ulama tentang pengertian qirâ`ah di sini. Di antaranya adalah Mannâ’ al-Qaththân dan Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî yang menyatakan bahwa qirâ`ah adalah mazhab tertentu dalam pengucapan Alquran yang dianut oleh para imam al-qurrâ` yang berbeda dengan madzhab lainnya dalam mengucapkan Alquran, dan bacaan itu ditetapkan dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah saw. Kalau definisi terminologis ini lebih menekankan pada aliran bacaan
Dari definisi terminologis di atas, dapat diambil intisarinya bahwa :
a. Qirâ`ah adalah suatu disiplin ilmu dan sekaligus juga berarti aliran bacaan dalam membaca Alquran.
b. Qirâ`ah adalah cara mengucapkan Alquran baik cara yang disepakati maupun yang tidak disepakati dalam beberapa aspek.
c. Qirâ’ah adalah cara pengucapan Alquran yang diambil dengan cara naql(diperoleh melalui riwayat dari Nabi) dan al-simâ’ (mendengar langsung bacaan itu dari Nabi)
Kata Sab’ahsecara etimologis berarti tujuh atau bilangan tujuh.Kata tujuh di sini mengacu pada tujuh orang imam yang diakui otoritasnya dalam qirâ`ahAlquran. Karena itu yang dimaksud dengan qirâ`ât sab’ah, menurut Hasanuddin AF, adalah tujuh versi qirâ`ah yang dinisbatkan pada para Imam qirâ`ah yang berjumlah tujuh orang (a`immat al-qurrâ` al-sab’ah) yaitu: Nâfi’ (lengkapnya Abû Ruwaym Nâfi’ ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Abû Na’îm al-Madanî, w. 169 H), Ibnu Katsîr (‘Abd Allâh ibn Katsîr al-Dârî, w. 120 H), Abû Amrû (Abû ‘Amrû Zabbân al-‘alâ ‘Ammâr al-Bashrî, w. 154 H), Ibnu ‘Âmir (‘Abd Allâh ibn ‘Âmir al-Yahshubî, w. 118 H), ‘Âshim (Abû Bakar ‘Âshim ibn Abû al-Najûd al-Asadî, w. 128), Hamzah (Abû ‘Ammârah Hamzah ibn Hubayb ibn Ziyyât al-Kûfî, w. 156 H), dan al-Kisâ`î (Abû al-Hasan ‘Alî ibn Hamzah al-Kisâ`î al-Nahwî, w. 189 H).
2.2.2 Contoh Varian Bacaan Qirâ`Ât Sab’ah
Contoh varian bacaan pada qirâ`ât sab’ah misalnya pada QS. al-Baqarah ayat 83: وقــولــوا للنــاس حـسـنـاkata bergaris dibwah pada ayat itu dibaca oleh Ibn Katsîr, Abû ‘Amr, Nâfi’, ‘Âshim dan Ibn ‘Âmir dengan husna(n), sementara Hamzah dan al-Kisâ`î membaca hasana(n)
2.2.3 Status Qirâ`ât Sab’ah dan Sebab Varian Bacaan
Menurut ‘Abduh Zulfidar Akaha, ulama telah sepakat bahwa qirâ’ât sab’ah adalah mutawâtirdengan sempurna. Artinya, qirâ`ah itu dinukil dari Nabi oleh orang banyak yang tidak mungkin terjadi konsensus di antara mereka untuk berdusta. Walaupun terdapat perbedaan bacaan pada qirâ`ât sab’ah tidak berarti perbedaan itu mempengaruhi qirâât sab’ah sebagai bacaan mutawâtir. Menurut Hasanuddin AF, ada dua faktor yang menyebabkan qirâât sab’ah sebagai qirâ`ah mutawâtir dan populer di dunia Islam yaitu:
1) Karena qira`at sab’at dapat diketahui sanad-nya baik secara lafzhi maupun sima’I, lengkap dari awal al-Quran hingga akhirnya. Sementara itu, para imam qira`at tersebut dikenal tentang kelebihan serta keluasan ilmu mereka mengenai al-Quran.
2) Karena para imâm qira`at sab’at tersebut telah mengkhususkan diri mereka dalam menekuni dan mendalami qira`at al-Quran dengan keluasan ilmu mereka tentang hal ini. Sementara para ulama ahli qira`at sebelum mereka, atau yang sezaman dengan mereka belum ada yang mengkhususkan diri untuk menekuni qira`at al-Quran seperti yang dilakukan para imâm qira`at sab’at. Mereka lebih menekuni bidang fiqh, hadist, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkembang saat itu.
Hasanuddin AF, mengemukakan 6 teori yang berusaha mengungkap penyebab terjadinya varian bacaan dalam Alquran khususnya dalam kasus qirâ`at sab’ah yaitu:
a. Varian bacaan disebabkan perbedaan qirâ`ah Nabi ketika membacakan Alquran kepada sahabat dengan berbagai versi qirâ`ah. Misalnya pada Surah al-Rahmân: 76 kata “rafraf” juga dibaca “rafârif” dan kata “‘abqariyy” dibaca juga oleh Nabi dengan “‘abâqariyy”. Contoh lain dalam al-Sajadah: 17 kata qurrah dibaca juga oleh Nabi dengan qurrât.
b. Perbedaan Alquran disebabkan adanya taqrîr atau pengakuan Nabi saaw terhadap berbagai qirâ`ah yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu yang terkait dengan perbedaan lahjah (dialek) dalam mengucapkan lafazh-lafazh tertentu seperti kata حـتى حـين (Yûsuf:35) dibaca حـتى عـين, kata تـعلم(al-Baqarah :106) dibaca تـعلم, dan kata الـم اعـهد(Yâsîn:60) dibaca الـم اعـهد.
c. Berbedanya qirâ`ah yang yang diturunkan Allah swt kepada Nabi saw melalui perantaraan Jibril as.
d. Riwayat para sahabat Nabi saw menyangkut berbagai versi qirâ`ah yang ada.
e. Perbedaan lahjah (dialek) kalangan bangsa Arab pada masanya turunnya Alquran.
f. Qirâ`ah merupakan hasil ijtihad atau rekayasa imam qiraat dan bukan berasal dari Nabi saw yang disebabkan oleh mushhaf ‘Utsmân yang tidak memiliki tanda huruf (nuqat) dan tanda baca (syakl).
Teori satu sampai kelima berasal dari para ulama dan qurrâ` sedang yang keenam berasal dari kalangan orientalis. Pendapat satu sampai kelima pada prinsipnya sepakat bahwa varian bacaan bermuara dari Nabi, sedang teori keenam menyatakan sebaliknya, bukan berasal dari Nabi tetapi hasil rekayasa para imam qirâ`ahsebagai akibat dari mushhaf ‘Utsmânî yang minus tanda titik dan tanda diakritikal. Teori keenam ini telah ditolak pada uraian sebelumnya.
2.2.4 Sab’at ahruf
pertama, bahwa hikmah diturunkannya Alquran dengan tujuh huruf adalah adalah untuk mempermudah (al-taysîr) seluruh umat Islam khususnya umat dari bangsa Arab yang menjadi pembaca Alquran yang terdiri dari banyak qabilah dengan dialek dan aksen yang berbeda-beda. Kalau diharuskan membaca dengan satu huruf akan membawa kesulitan bagi mereka.
Kedua, jumlah Nabi Muhammad meminta tambahan dispensasi (al-taysîr) untuk umatnya adalah enam kali (enam huruf) selain dari huruf yang dibaca Jibril pertama kali, jadi jumlahnya sempurna menjadi tujuh huruf.
Ketiga, Orang yang membaca dengan salah satu huruf dari tujuh huruf maka bentuk bacaannya itu adalah benar.
Keempat, seluruh varian bacaan yang muncul dari sab’at ahruf adalah kalâm Allâh, tidak ada satupun intervensi manusia di dalamnya.
Kelima, tidak boleh melarang seseorang membaca Alquran dengan menggunakan salah satu huruf dari sab’at ahruf.
Keenam, para sahabat ra sangat bersemangat membela Alquran dan gigih memeliharanya serta segera merespon bila ada berita atau peristiwa tentang Alquran walaupun hanya tentang persoalan perbedaan dialek.
Ketujuh, tidak boleh menjadikan varian bacaan (ikhtilâf al-qirâ`ât) sebagai bahan perdebatan, perselisihan dan perpecahan. Kedelapan, yang dikehendaki dengan al-ahrufpada hadis Nabi hanyalah tentang salah satu aspek lafazh dari beberapa aspek lafazh Alquran bukan persoalan penjelasan makna Alquran.
2.2.5 Makna Tujuh Huruf
Tidak adanya nashyang shârih yang menjelaskan tentang makna sab’at ahrufini telah menimbulkan berbagai macam interpretasi dari kalangan ulama. Bahkan menurut Ibnu Hayyân, yang dikutip oleh Mannâ’ al-Qaththân, bahwa ahl al-ilm telah berbeda penafsiran tentang makna sab’at ahrufsampai mencapai 53 qawl. Sementara A’zhamî menyebutkan terdapat 40 pendapat ilmuwan tentang makna ahruf. Beberapa kalangan dari mereka, menurut A’zhamî, mengartikannya begitu jauh, tetapi kebanyakan sepakat bahwa tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Alquran bagi mereka yang tidak terbiasa dengan dialek Quraysy. Senada dengan A’zhamî, Adnin Armas menyatakan bahwa walaupun terdapat 40 pendapat tentang sab’at ahruf, namun mayoritas menyetujui bahwa tujuan utamanya adalah untuk memfasilitasi qirâ`ahAlquran bagi mereka yang tidak terbiasa dialek Quraysy. Konsesi ini diberikan atas rahmat Allah swt. Namun beberapa kalangan bersikap terlalu jauh terhadap perbedaan interpretasi sab’at ahruf, mereka justru menolak keabsahan semua hadis tentang sab’at ahruf yang memiliki status mutawâtir.
Para ulama sendiri telah berusaha menjelaskan makna sab’at ahruf itu. Kalangan ulama mengelompokkan pendapat-pendapat tentang makna sab’at ahruf ini dalam beberapa kelompok, ada yang membaginya menjadi 5 kelompok, 6 kelompok dan ada pula yang 8 kelompok. Contohnya, Mannâ’ al-Qaththân membaginya menjadi 6 kelompok sebagai berikut:
a. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang mengandung satu makna. Tujuh bahasa di sini adalah bahasa Quraysy,Hudzayl, Tsaqîf, Hawâzin, Kinânah, Tamîm dan al-Yaman.
2.2.6 Hikmah Al-qur’an diturunkan dalam Tujuh Huruf
Menurut Muhammad ‘Alî al-Shâbûnî dalam al-Tibyân, diantara hikmah diturunkannya Alquran dengan tujuh huruf adalah:
a. Untuk memberikan kemudahan kepada umat Islam khususnya bangsa Arab yang memiliki keanekaragaman dialek dimana Alquran diturunkan kepada mereka.
b. Menyatukan umat Islam pada lisan (bahasa) yang satu yaitu lisan Quraysy yang banyak menyerap dialek unggulan qabilah-qabilah Arab. Sebab, unifikasi bahasa merupakan faktor penting dalam pengintegrasian umat khususnya pada abad pertama Islam.
2.2.7 Hubungan Qirâ`ah Sab’ah dengan sab’atul Ahruf
Dari uraian tentang qirâ`ât sab’ah dan sab’at ahruf di atas dapat dinyatakan bahwa lahirnya qirâ`ât sab’ah adalah implikasi dan konsekuensi logis dari diturunkannya Alquran dalam tujuh ahrufyang merupakan dispensasi terhadap umat dalam pembacaan dan pengucapan Alquran dengan berbagai dialek. Artinya, kumpulan qirâ`ah dari qirâ`ât sab’ahberasal dari tradisi bacaan sab’at ahruf Nabi yang diriwayatkan secara mutawâtir. Walaupun begitu tidak semua varian bacaan yang muncul dari sab’at ahruf terakomodasi dalam qirâ`ât sab’ah, karena sab’at ahruf lebih luas dari qirâ`ât sab’ah. Karena itu, qirâ`ât sab’ah bukanlah makna sebenarnya dari sab’at ahrufsebagaimana yang dimaksud oleh hadis Nabi. Sebab, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, persepsi bahwa qirâ`ât sab’ah adalah sab’at ahrufadalah persepsi yang lemah dan keliru karena lahir dari kesalahpahaman akibat kesamaan kata tujuh (sab’ah) diantara keduanya. Karena selain qirâ`ât sab’ah, terdapat pula qirâ`ah lain (qirâ`ah 10 dan qirâ`ah14) yang juga eksis di kalangan umat Islam walaupun tidak sepopuler qirâ`ât sab’ah. Namun yang jelas, qirâ`ât sab’ah adalah bagian dari sab’at ahruf.
Varian bacaan itu sendiri, termasuk varian bacaan dalam qirâ`ât sab’ah, sama sekali tidak mengakibatkan perubahan Alquran bahkan tidak membawa perubahan makna yang saling bertentangan, malah sebaliknya saling mendukung dan menguatkan. Para orientalis sendiri mengakui realitas ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Goldziher dan Margoliouth bahwa dalam banyak masalah ketidakjelasan skrip yang mengakibatkan ragam bacaan sangat sedikit sekali konsekuensinya. Bukti-bukti tentang hal ini dapat ditelusuri pada qirâ`ât sab’ah dan qirâ`ah lainnya. Para orientalis juga tidak memiliki argumentasi dan data yang valid yang dapat membuktikan bahwa varian bacaan diakibatkan oleh rasm ‘Utsmânî yang minus tanda titik dan tanda diakritikal bukan berasal dari dispensasi dan konsesi sab’at ahruf.
2.3 Tuduhan Ketidaksempurnaan al Qur’an
Dengan demikian, maka yang dimaksudkan di sini adalah 'peniadaan kelupaan secara total.' Mereka mengatakan: Pengertian demikian seperti halnya perkataan seseorang kepada sahabatnya: 'Engkau berbagi denganku dalam apa yang aku miliki, kecuali kalau Allah menghendaki.' Dengan perkataan ini ia tidak bermaksud mengecualikan sesuatu, karena ungkapan demikian sedikit sekali atau jarang dipergunakan untuk menunjukkan arti nafi (negatif). Dan seperti ini pulalah maksud pengecualian dalam firman-Nya pada Surah Hud: Adapun orang-orang yang berbahagia, tempat mereka dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumf, kecuali jika Tuhanmu nienghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putusputusnya (Hud [111:108). Pengecualian seperti ini untuk menunjukkan bahwa pengabadian dan pengekalan itu semata-mata karena kemurahan dan keluasan karunia Allah, bukan keharusan dan kewajiban bagi-Nya.[5]
Mereka berkata: Karena penulisan Al Qur'an untuk hal-hal yang tidak homogen (tidak sama), tulang, kulit, dan lain-lain, sehingga mengakibatkan kehilangan beberapa ayat dari Quran. [6]
Kami menanggapi kecurigaan ini dengan beberapa alasan:
1. Penulisan al Quran pada perintahan yang pertama, yaitu pada pemerintahan Abu Bakar, pengumpulan al Qur’an kurang disiplin, dan terjadi pencampuran satu sama lain
2. Penulisan ayat-ayat itu tidak terorganisir, dan berantakan, tidak menantang integritas Quran
1. Penulisan al Quran pada perintahan yang pertama, yaitu pada pemerintahan Abu Bakar, pengumpulan al Qur’an kurang disiplin, dan terjadi pencampuran satu sama lain
2. Penulisan ayat-ayat itu tidak terorganisir, dan berantakan, tidak menantang integritas Quran
Segolongan Syi`ah ekstrim menuduh bahwa Abu Bakar, Urnar dan Usman telah mengubah Qur'an serta menggugurkan beberapa ayat dan surahnya. Mereka (Abu Bakar cs.) telah mengganti dengan lafal Urnmatun hiya arbd min ummatin – "Sate golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain" (an-Nahl [16]:92), yang asalnya adalah: A'immatun hiya azka min dimmatikum – "Imam-imam yang lebih suci daripada imam-imam kamu", mereka juga menggugurkan dari surah Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan "Ahlul Bait" yang panjangnya sama dengan surah al-An'am, dan menggugurkan pula surah mengenai kekuasaan secara total dari Qur'an.
Terhadap golongan ini dapat dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannnya merupakan suatu kebodohan. Selain itu, sebagian ulama Syi'ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang yang mereka jadikan tumpuan (tasyayyu') bertentangan dengan hal tersebut dan bahkan menunjukkan terjadinya kesepakatan (ijma`) mengenai kemutawatiran Qur'an yang tertulis dalam mushaf. Diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan Qur'an oleh Abu Bakar: "Manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf Qur'an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialahorang pertama yang mengumpulkan Kitabullah." Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan Qur'an oleh Usman: "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah sikap berlebihan (bernusuhan) terhadap Usman Jan perkataanmu bahwa dialah yang mem)ak-ar mushaf. Demi Allah, ia membakarnya berdasarkan persetujuan Kami, sahabat-sahabat Rasulullah." Lebih lanjut ia mengatakan: "Seanlainya yang menjadi penguasa pada masa Usman adalah aku, tentu aku pun akan berbuat terhadap mushaf-mushaf itu seperti yang diakukan Usman."
Apa yang diriwayatkan dari Ali sendiri ini telah membungkam para pendusta yang mengira bahwa mereka adalah para pembela Ali, sehingga mereka berani berperang untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui karena kefanatikannya yang membuta kepada Ali, sedang Ali sendiri lepas tangan dari mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuduhan yang dilontarkan oleh suatu golongan tertentu seputar kesalahan dalam penulisan al Qur’an adalah tidak benar. Karena proses Jam’ul Qur’an telah dilakukan dengan cermat, teliti dan hati-hati oleh para sahabat di berbagai masa yang berbeda.
Al Qur’an telah terbukti mutawatir, yakni benar datangnya dari Allah SWT dengan segala pemeliharaan yang dilakukakan oleh Allah SWT sendiri, sehingga tidak mungkin terjadi perubahan ataupun kesalahan dalam penulisan al Qur’an
Tuduhan ketidaksempurnaan al Qur’an yang meliputi penambahan, pengurangan, dan pemalsuan isi al Qur’an sama sekali tidak memiliki bukti yang kuat. Kerena sejak zaman Rasulullah sampai sekarang, al Qur’an benar-benar terpelihara, tanpa ada sedikitpun keraguan atas kebenaran kandungannya.
Varian bacaan khususnya yang terkodifikasi dalam qirâ`ât sab’ah adalah berasal dari Nabi Muhammad saw. yang berawal dari adanya konsesi dan dispensasi temporal akibat keragaman dialek bangsa Arab yang baru memeluk Islam yang disahkan dengan hadis tentang sab’at ahrufyang berstatus mutawâtir. Spekulasi bahwa varian bacaan termasuk di dalamnya qirâ`ât sab’ah adalah akibat dari skrip Mushhaf ‘Utsmani yang minus tanda titik (nuqat) dan tanda diakritikal (tasykîl) tidak memiliki landasan ilmiah yang kuat karena tradisi oral bacaan Alquran tidak memberi peluang bebas untuk berkreasi dan berijtihad untuk menebak sendiri bacaan Alquran. Sebab semuanya harus melalui otoritas qurrâ`yang pakar tentang bacaan Alquran yang berasal dari Nabi.
Walaupun memiliki hubungan erat, qirâ`ât sab’ah bukanlah makna dari sab’at ahruf, karena qirâ`ât sab’ah muncul dan terkompilasi belakangan sementara sab’at ahruftelah eksis pada zaman Nabi. Pendapat yang menyatakan bahwa makna sab’at ahrufadalah qirâ`ât sab’ah adalah pendapat yang tidak memiliki landasan yang kuat, bahkan disindir oleh para pakar Alquran sebagai pendapat yang bodoh. Namun tidak disangkal bahwa varian bacaan qirâ`ât sab’ah adalah bagian dari sab’at ahruf.
3.2 Saran
Dari penjelasan itu semua, kita semua tau pentingnya memahami & mempelajari al-qur’an dengan baik, karena suatu problema itu pasti ada terutama dengan banyaknya kaum yang ingin melemahkan kita sebagai umat islam tentang mu’jizat al-qur’an, sehingga kita perlu menggali kandungan & sejarah tentang al-qur’an agar iman kita tidak dilemahkan oleh kaum-kaum yang ingin menjatuhkan al-qur’an, karena ketika iman kita lemah ta’ jarang akan menimbulkan kekafiran.
DAFTAR PUSTAKA
- Akaha, Abduh Zulfidar, Alqur`an dan Qiroat, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1996.
- Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, Yogyakarta, FkBA, 2001.
- Athaillah, A., Sejarah Alquran Verisikasi otensitas Alquran, Banjarmasin, Antasari Press, 2006.
- Al Qur’anul karim
- Khalil al-Qattan, Manna’, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka, Litera AntarNusa, 2009.
- Mustofa, Jamal, Jam’ul Qur’anul Karim, Kairo, 1992.
Komentar
Posting Komentar